III
Lalu Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku......." (Mat. 16:24)
Siapakah orang Kristen itu sesungguhnya? Orang Kristen adalah orang yang mengikut Yesus Kristus. Orang-orang yang telah ditetapkan Allah, dipilih dan dipanggil-Nya menjadi anak-anak-Nya. Mereka telah menerima anugerah Allah melalui kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Ada iman di hati orang Kristen dan ada pengakuan di mulut mereka bahwa Yesus adalah TUHAN dan Juruselamat satu-satunya, DIA adalah Raja di atas segala raja. Pengakuan iman yang diungkapkan oleh rasul Petrus bahwa Yesus Kristus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup merupakan pengakuan orang-orang Kristen di segala tempat. Masih adakah pengakuan iman itu di dalam seluruh fakta hidup kita sekarang ini? Semoga saja kita tidak hanya berstatus "Kristen" tetapi pengakuan dan keyakinan kita ternyata tidak seperti apa yang Tuhan kehendaki.
Ayat dari Matius 16:24 itu merupakan salah satu ayat yang penting dipahami dalam hal pengikutan kita di dalam Tuhan Yesus. Ada tiga kata penting yang tidak terpisahkan, yaitu sangkal diri, pikul salibnya, ikuti Tuhan. Ayat ini disampaikan Tuhan, setelah rasul Petrus menyatakan pengakuan imannya akan siapakah Yesus Kristus menurut dirinya. Sebelum Tuhan menyatakan mengenai "mengikut Aku" TUHAN menyatakan rencana-Nya ke Yerusalem untuk menggenapi nubuat dan janji Allah, yaitu mati disalibkan dan akan dibangkitkan pada hari ketiga. Cara pandang Petrus waktu itu tentang Mesias dan fakta yang ada bertentangan dengan dengan kehendak Allah. Yesus menegor Petrus dengan keras karena cara pandang iblisi itu merasuki diri Petrus, yaitu memikirkan yang dipikirkan manusia, bukan memikirkan yang dipikirkan Allah. Sekalipun pengakuan iman sudah seringkali kita ucapkan setiap Minggu dan dapat dihapalkan dengan mantap; Namun hal tersebut tidak serta merta mengubah cara pandang kita tentang siapa Yesus Kristus dalam fakta kebenaran dan fakta kehidupan. Kita perlu terus menerus memperbaharui akal budi kita agar cara pandang kita akan TUHAN itu tepat, benar, kudus, dan berkenan kepada-Nya (Rm. 12:1-2). Hanya kuasa Allah dan firman Tuhan yang berkuasa mengubah cara pandang kita atas Allah, alam semesta, manusia, etika, dan pelbagai pengetahuan.
Setelah tegoran keras itu, Yesus menyatakan akan makna pengakuan iman untuk mengikut-Nya di dalam fakta dan tindakan nyata. Apa yang kita akui, kita terima, dan kita yakini akan Pribadi dan karya Yesus Kristus adalah kebenaran mutlak, yang bersifat kekal dan tidak pernah berubah atau diubah oleh siapa pun. Apa yang telah diwahyukan Roh Kudus dan dituliskan para penulis Alkitab mengenai Pribadi dan karya Yesus Kristus merupakan kebenaran yang absah dan tidak terbantahkan oleh apa pun. Kendatipun konsep dan pengertian benar itu sudah diketahui dan diyakini, akan tetapi bagaimana kebenaran itu menjadi sebuah kenyataan yang hidup dalam kehidupan di dunia ini. Kristus berkata keutuhan pengertian mengenai tindakan pengakuan iman itu, yakni: menyangkal diri, memikul salibnya, dan mengikut-Nya.
Menyangkal diri, bukan meniadakan adanya keberadaan diri sehingga menjadi nihil atau habis. Menyangkal diri tidak dengan menyiksa diri dengan cara-cara merusak tubuh seperti kepercayaan kafir di tengah kegelapan bangsa-bangsa. Pandangan Alkitab mengenai menyangkal diri akan membawa kembali diri di bawah kendali Penciptanya. Menyangkal diri berarti mengenal diri dan menyadari diri bahwa dirinya adalah gambar rupa Allah yang dicipta untuk tujuan memuliakan Allah. Cara pandang Alkitab tentang menyangkal diri merupakan suatu komitmen untuk menaklukan kebebasan diri di bawah kedaulatan Allah seutuhnya. Kita tidak lagi memikirkan apa yang dipikirkan manusia dan segala hawa nafsunya. Kita mau seperti Yesus Kristus hidup dan sempurna seperti yang dikehendaki-Nya (Mat. 5:48; 1 Yoh.2:6). Kita bersandar mutlak kepada Allah dalam segala rencana apa pun (Ams. 3:5-8; Yer. 29:11). Selain itu pusat hidup dan tujuan hidup kita hanya Tuhan saja, hidup kita buka kita lagi, tetapi Kristus yang bekerja di dalam dan melalui kita (Gal. 2:20; 2 Kor. 5:17; Rm. 11:36). Di dalam tangan dan genggaman Tuhan saja, kita akan mengenal dan mengerti siapakah diri yang kita sesungguhnya (Yoh. 15:1-8). Sebab di luar Kristus, kita tidak dapat berbuat apa-apa. Jadi hidup menyangkal diri ialah hidup yang berada di dalam rencana Allah, bukan rencana diri sendiri. Hidup menyangkal diri merupakan hidup mengoptimalkan diri bagi Tuhan, baik talenta yang dikaruniakan Allah, baik kesempatan yang disediakan-Nya, dan juga pengetahuan yang dilengkapi-Nya. Hidup menyangkal diri merupakan hidup yang penuh perjuangan melawan kuasa dosa dan kuasa setan di dunia fana ini. Kita berani berkata ya, jika ya dan berkata tidak, jika tidak. Hidup menyangkal diri berarti hidup yang memiliki integritas dengan seluruh kebenaran, keadilan, dan kasih Tuhan di mana pun dan kapan pun; dalam pekerjaan dan aktivitas apa pun; dalam kriatifitas atau dalam ketenangan atau kegaduhan apa pun. Hidup menyangkal diri sepenuhnya ialah hidup hanya memuliakan Allah dan hidup yang berkenan kepada-Nya. Maukah kita selalu hidup menyangkal diri sebagai pengikut Yesus Kristus? Marilah kita menjadi pengikut Yesus yang militan dan penuh dedikasi bagi Tuhan.
Memikul salibnya, merupakan tindakan iman yang aktif setiap hari bagi anak-anak Tuhan. Salib tanpa Kristus merupakan lambang kutukan dan hukuman atas segala dosa. Salib tanpa keadilan merupakan kengerian neraka yang tidak dapat tertanggungkan oleh siapa pun. Salib tanpa kasih merupakan keterputusan relasi dengan semua pihak dalam kesendirian yang menakutkan. Salib Yesus merupakan bukti kasih, keadilan dan kekuatan Allah yang dinyatakan bagi manusia. Segala dosa dipakukan di atas kayu salib dan darah Yesus mengalir dan dipercikan untuk menghapuskan seluruh dosa pemberontakan umat pilihan-Nya. Di atas kayu salib, seluruh hukuman yang dijatuhkan Allah bagi manusia berdosa ditanggungkan dan diterima Yesus Kristus untuk menggantikan posisi umat-Nya. Allah murka atas manusia berdosa dan murka-Nya itu dijatuhkan kepada Yesus Kristus. Anak Allah menerima hukuman dosa itu dan mengalami neraka yang begitu menakutkan itu. Yesus menyerahkan nyawa-Nya kepada Allah sebagai kurban persembahan, kurban penebus salah, kurban pendamaian, dan kurban penghapus kesalahan serta kurban syukur sebagai Anak Domba Allah. Yesus membawa diri-Nya untuk menjadi kurban keselamatan bagi umat pilihan-Nya. Di atas kayu salib itulah keadilan dan kasih Allah menjadi nyata bagi umat gembalaan-Nya. Itulah ringkasan sederhana tentang salib Kristus. Namun perintah Tuhan tentang salib yang dipikul oleh para pengikut-Nya tidak berada dalam keunikan dan karya yang sama seperti salib Yesus Kristus. Salib yang kita pikul itu tidak lagi memikul dosa atau menerima murka Allah. Salib itu diletakkan Tuhan di bahu kita seperti yang dikehendaki-Nya (Mat.11:28-30). Tuhan Yesus yang memasang salib itu atau beban itu di dalam seluruh hidup para pengikut-Nya. Apakah beban salib yang kita pikul itu? Pertanyaan itu tidak akan terlepas dari maksud Allah memanggil dan mengutus kita di tengah-tengah dunia ini. Kita diberikan visi dan misi dari Allah untuk dijalankan sesuai dengan ukuran iman dan karunia yang dianugerahkan-Nya bagi kita masing-masing. Ada yang dikaruniakan sebagai pelayan, pengajar, penasihat, pemberi saluran berkat, berkhotbah, membagi-bagi, dll (Rm. 12:4-9). Allah saja yang ditinggikan dan diagungkan untuk setiap salib yang kita pikul itu. Kita diberikan kemampuan untuk memikul salib kita masing-masing (Flp. 5:13). Salib itu bukan pergumulan, pencobaan, atau kesusahan hidup. Karena semua mahluk sama-sama mengeluh akan kehidupannya di dunia ini (Rm. 8:1-27). Salib itu tidak lagi kutukan atau hukuman tetapi hikmat Allah yang dinyatakan bagi hidup anak-anak-Nya. Kita akan hidup memancarkan kasih kuasa Allah, kuasa pengampunan Allah dan kebaikan-kebaikan-Nya. Salib itu bukan lagi sesuatu yang menakutkan atau mengerikan tetapi sesuatu yang mendamaikan dan penuh sukacita dari kekekalan. Sudahkan kita memikul salib kita masing-masing dan memancarkan terang salib itu bagi dunia? Walaupun akan ada penderitaan, kesulitan dan pencobaan, kita tetap akan menjadi umat pemenang karena Tuhan yang kita muliakan itu adalah Pemenang kekal yang menaklukkan musuh-musuh-Nya di bawah kaki-Nya. Kita tidak gentar berada di tengah-tengah serigala dan tidak kuatir akan keberadaan apa pun yang terjadi dunia fana ini.
Mengikut Yesus Kristus, merupakan ketetapan hati yang menyenangkan setiap pengikut Yesus. Kita mengikuti Yesus karena tidak ada seorang pun yang layak dan tepat untuk diikuti. Kemana lagi kita menemukan kebenaran dan hidup, kecuali hanya di dalam Yesus Kristus. Perkataan-perkataan Yesus Kristus adalah perkataan roh dan hidup (Yoh. 6:63). Kita tidak hanya dibentuk diperlengkapi oleh Tuhan untuk menjalankan misi-Nya di bumi ini. Kita pun digembalakan dan dibimbing-Nya di jalan-Nya, gada dan tongkat-Nya memimpin hidup domba-domba-Nya (Mzm. 23:1-6). Kita mengikut Tuhan karena kesetiaan-Nya yang melampaui akal budi, yang melampaui segala kelemahan dan kekurangan dan keterbatasan, dan melampaui segala ketidakmampuan apa pun. Kasih setia Allah memberi jaminan bagi umat-Nya untuk menjalankan pekerjaan-pekerjaan baik yang disediakan Allah bagi kita masing-masing (Ef. 2:10). Kita dituntun Tuhan untuk mengikut-Nya. Ketika kita nakal dan mendukakan-Nya, Allah setia menegor dan menghajar kita sebagai bukti kasih-Nya. Ketika kita terjatuh dan terpuruk, Allah setia membangkitkan kita kembali untuk melepaskan belenggu-belunggu yang mengikat kaki-tangan kita. Ketika kita berjalan di jalan-Nya, Allah tidak membiarkan keangkuhan dan kesombongan menguasai segala karya Allah di dalam dan melalui hidup kita. Seseungguhnya setiap hari kita mengikuti jejak-Nya di dalam dekapan dan genggaman-Nya. Karena itu demi kemurahan Allah itu, kita seharusnya setia dalam perkara kecil; kita setia menjalankan talenta yang diserahkan-Nya untuk kita kelola dengan baik dan benar; kita setia menjalankan pembentukan dan misi-Nya.
Refleksi ringkas dan sederhana di atas agar kita mengikut Yesus Kristus di atas merupakan satu paket yang tidak dipisah-pisahkan prosesnya. Ketiganya, sangkal diri, pikul salibnya, dan mengikut Tuhan merupakan satu kesatuan yang saling mengikat dan terkait satu dengan yang lain. Kiranya kita terus merefleksikan perintah Tuhan Yesus di dalam hidup kita, soli Deo gloria.
IV
"Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu:selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?" (Mikha 6:8)
Kita ingin berbuat baik dan diperlakukan baik oleh siapa pun. Sayangnya kita tidak memiliki kekuatan dan kuasa lagi untuk berbuat baik. Bahkan kita tidak dapat berbuat baik untuk diri kita sendiri. Hal itu dapat kita perhatikan dari cara hidup kita sehari-hari, pola makan dan pola pergaulan serta pola kerja kita. Kita kurang mampu mengelola diri agar apa yang dipikirkan dan dilakukan merupakan sesuatu yang baik dan hasil yang baik. Kita seringkali mendapati diri dengan memperlakukan tubuh secara kurang baik. Misalnya, makanan yang kita nikmati setiap hari itu apakah lebih cenderung memilih jenis yang enak dan lezat di lidah saja, tanpa lagi memperhatikan? Apakah jenis makanan itu bermanfaat dan berfungsi untuk menjaga kesehatan dan perbaikan sel-sel tubuh kita yang rusak? Kita pun cenderung memilih pakaian atau asesoris tubuh hanya untuk kepentingan prestise saja tanpa memperhatikan peran pentingnya untuk menjaga tubuh dari hal-hal yang buruk atau etis dan bermoral untuk kita gunakan. Kita dapat menyusun ulang kembali perbagai hal yang kita pakai dan gunakan dalam kehidupan kita sehari-hari, apakah semua itu telah memiliki nilai kebaikan seperti yang ada pada kebaikan itu sendiri. Belum lagi, ketika kita mencermati kebaikan untuk hati kita atau kerohanian kita setiap hari. Sudahkah kita mengisi hati dengan kebaikan yang berasal dari Allah, Pencipta kita itu? Ada orang yang mengisi hatinya dengan kebaikan semu, artinya mengisi hanya sekedar melaksanakan rutinitas, misalnya melakukan saat teduh atau membaca Kitab Suci dengan caranya sendiri. Lebih mengherankan lagi, ketika hati kita masih diisi dengan sesuatu yang remeh dan sepele, keluh kesah, dan bahkan menuntut hak-hak atas diri. Sementara di pihak lain, kita melupakan kewajiban hati untuk di"kenyangkan" dan dipuaskan dengan firman Tuhan. Sudahkah kita puas dengan apa yang Tuhan katakan di dalam Kitab Suci setiap hari untuk diterapkan dengan rasa puas untuk menikmati kebenaran-Nya setiap saat?
Kebaikan untuk diri saja sudah sulit dipenuhi menurut kriteria Allah; konon lagi kita hendak menyatakan kebaikan kepada orang lain. Tujuan hidup seseorang akan menentukan kebaikan apa yang akan dilakukannya untuk dirinya dan orang lain. Kita seringkali menganggap diri sudah menemukan tujuan hidup, apabila telah mencapai apa yang dicita-citakan atau diraih dengan kerja keras. Padahal kita tahu dan sadar bahwa apa yang dicapai dan dicita-citakan itu bukanlah tujuan hidup yang semestinya, seperti yang Tuhan mau atau rancangkan bagi kita masing-masing. Karena itu kita perlu mengenal dan mengerti tentang tujuan hidup kita yang sejati agar kita dapat menjalankan kebaikan-kebaikan yang berkenan kepada Allah. Ada seorang muda bertanya kepada Yesus Kristus tentang perbuatan baik untuk memperoleh hidup kekal. Yesus menjawab pertanyaan itu dengan beberapa kalimat penting, yaitu: (a) Alasan bertanya kepada Yesus tentang apa yang baik (motivasi bertanya tentang kebaikan kepada Allah); (b) Ketaatan kepada perintah Allah merupakan kunci kebaikan; (c) berbagi dengan sesama apa yang ada pada diri sendiri sehingga orang lain dapat menikmati apa yang dinikmati diri kita; (d) datang kembali kepada Yesus Kristus dan mengikuti-Nya seumur hidup. Pemuda kaya itu sedih mendengar jawaban Yesus dan segera meninggalkan Yesus sebelum dia menjawab mau atau tidak untuk mengikuti konsep kebaikan Allah itu. Terlalu mudah bagi kita untuk berkata dan bertindak baik menurut ukuran diri sendiri. Bahkan ada juga yang menilai kebaikan-kebaikannya dapat dijadikan modal dan alasan kuat untuk menerima hidup kekal. Hanya kebaikan Allah di dalam Yesus Kristus yang memampukan kita untuk hidup sesuai kehendak-Nya.
Kebaikan dikaitkan dengan pemenuhan kehendak Allah untuk pembaruan akal budi (Rm. 12:1-2). Ketika akal budi tidak lagi menurut cara pandang dunia, kebaikan akan semakin menunjukkan identitasnya melalui hidup kita. Ketika kita berpikir menurut ukuran iman yang dikaruniakan Allah, kebaikan akan sesama melahirkan buah pelayanan yang bermutu (Rm. 12:3-9). Kebaikan itu diawali dari hati yang telah diperbarui Roh Kudus menurut anugerah Allah di dalam Yesus Kristus untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan baik yang disediakan Allah (Ef. 2:10). Perbuatan baik apa pun yang dilakukan oleh seseorang memiliki nilai kekekalan dan berkenan kepada Allah, apabila orang yang berbuat baik itu telah dibenarkan Allah di dalam Kristus dan perbuatan baiknya sesuai kehendak Allah. Jadi tidak semua orang yang berbuat baik adalah orang yang perbuatan baiknya diterima Allah. Perbuatan baik yang tidak sesuai kehendak Allah telah berubah status baiknya itu menjadi perbuatan sia-sia dan menjijikan di hadapan Allah.
Perbuatan baik seperti itu bisa bermanfaat hanya untuk mengurangi kejahatan yang terjadi dalam masyarakat. Perbuatan baik relatif dan subyektif sesuai kepentingan pribadi atau pergumulan seseorang. Akan tetapi perbuatan baik itu tidak pernah dapat menyelesaikan dosa apa pun yang ada di dalam diri seseorang. Hanya orang beriman kepada Tuhan Yesus yang kebaikan-kebaikannya bernilai kekal. Orang beriman melakukan perbuatan baik itu untuk memuliakan Allah dan saluran berkat bagi sesama. Misalnya, kita ada kesempatan memberi bantuan uang kepada orang miskin yang kelaparan di sebuah desa dan memberikan sejumlah kebutuhan primernya; pemberian itu dilakukan seharusnya dengan mata tertuju kepada Kristus (Mat. 25:31-46). Ketika ada yang sakit, kita jenguk atau doakan; ketika ada yang lapar, kita berikan makanan; ketika ada yang telanjang, kita berikan pakaian; ketika ada yang dipenjara, kita menjenguknya, dll. Semua perbuatan baik itu dilakukan dengan iman kepada Kristus dan dengan sikap meninggikan Nama-Nya.
Refleksi kebaikan di atas diperkaya lagi dengan pengertian kebaikan yang dituliskan nabi Mikha. Kebaikan yang dimasudkan dalam Mikha 6:8 merupakan definisi yang telah dipaparkan Allah dalam menopang dan memelihara umat-Nya. Tuhan telah membagi-bagi kebaikan-Nya sampai hari ini kepada semua orang. Segala keperluan dan kebutuhan manusia. Allah masih memberi udara, air, tumbuhan dan hewan yang ada di bumi ini untuk kebutuhan hidup dan kehidupan manusia. Sekalipun ada degradasi alamiah di bumi ini dan kerusakan lingkungan karena dosa dan kejahatan manusia, Allah setia menganugerahkan segala kebaikan-kebaikan-Nya. Berkenaan dengan kebaikan Tuhan itulah, kita dapat mengalami kehidupan baik sesuai rencana kekal-Nya. Ulasan sederhana di atas tersebut menyatakan kebaikan Allah yang tidak pernah berhenti sampai kapan pun. Dan puncak kebaikan abadi itu akan diwujudnyatakan dalam penghakiman Allah atas manusia di akhir zaman oleh Anak Allah yang Tunggal.
Kebaikan-kebaikan apa yang telah diungkapkan nabi Mikha merupakan satu paket kebaikan dengan kebaikan-kebaikan Allah yang ada dalam seluruh Alkitab. Mikha menuliskan bahwa kebaikan itu terbagi atas tiga nilai hidup yang bersifat ilahi dan kekal, yaitu berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allah.
Nilai baik yang pertama yaitu berlaku adil, tindakan aktif dan tegas tanpa kompromi dengan keputusan bijak dan penuh kebenaran. Orang yang baik dinilai dari kelakukannya terhadap sesama berdasarkan keadilan Allah. Keadilan itu bersifat universal dan kebutuhan hakiki manusia. Konsep bagi rata atau sama rata justru bertentangan dengan pandangan Kristen tentang keadilan. Keadilan juga bukan masalah perasaan atau sentimen pribadi akan sesuatu yang dialami seseorang. Keadilan memiliki elemen, antara lain: hukum, benar, kesucian, dan keputusan yang tepat sesuai nilai tertinggi dalam seluruh etika Kristen. Kita berlaku adil kepada semua orang tanpa memandang etnis, jabatan dan posisi seseorang. Kita berlaku adil sebagai penggenapan keadilan Allah atas manusia dengan hukum dan kebenaran Tuhan sebagai sumber penilaiannya. Kita berlaku adil kepada semua orang dengan segala resiko yang harus diterima, baik dibenci, dikucilkan atau bahkan dianiaya. Keadilan Tuhan ditegakkan dan hak pembalasan ada di tangan-Nya. Kita hanya alat keadilan saja yang melaksanakan hukum dan kebenaran Tuhan di segala lini tanpa gentar dan kompromi. Ketika kita mendapati diri bersalah dan melanggar aturan hukum, kita harus terlebih dahulu menjadi contoh dari konsekwensi kejahatan itu. Sebaliknya, kita pun harus menjadi contoh hidup untuk berlaku adil terhadap sesama. Keadilan Allah itu tidak memandang bulu. Setiap orang yang kedapatan melakukan kejahatan apa pun jenis dan kualitas serta modus operandinya, orang tersebut harus menerima ganjaran hukum yang setimpal. Sedangkan bagi setiap orang yang kedapatan taat hukum dan kewajibannya secara penuh tanggung jawab, kita patut memberikan penghargaan sebagaimana yang seharusnya diterima orang tersebut. Yang patut dihargai, mari kita hargai; yang tidak layak dihormati, mari kita berikan sanksi sebagaimana hukum yang berlaku. Di pihak lain, kita berlaku adil dengan ikatan kasih dari Tuhan. Artinya kita tidak berbuat kejam tanpa pengampunan atau belas kasihan. Berlaku adil berarti juga ada kesempatan yang masih disediakan bagi orang jahat untuk bertobat dan berubah dari tingkah laku yang kurang berkenan. Dengan demikian, kesabaran kita pun diuji melalui sikap berlaku adil bagi sesama. Marilah kita berlaku adil terhadap siapa pun di dalam takut akan Tuhan.
Mencintai kesetiaan seperti Allah yang setia, artinya apa yang kita terima dari Allah bisa kita pertanggung jawabkan di hadapan-Nya. Sikap mendua hati dan bimbang ragu atas segala janji Tuhan merupakan bagian dari perlawanan atas hidup yang mencintai kesetiaan. Suami dan istri setia dengan pasangannya baik dalam suka maupun duka, itulah janji pernikahan di depan Allah dan jemaat-Nya. Kesetiaan seibarat berlian yang memancarkan cahaya dari berbagai sudut yang ada pada dirinya. Cahaya kesetiaan itu bukan hanya dirasakan dan dinikmati oleh dirinya, tetapi juga memberi dampak kepada orang-orang disekitarnya. Seorang petani setia menunggu hasil pertanian hingga panen tiba. Setiap hari petani itu menjaga dan merawat sawah yang ditumbuhi pepadian itu agar tidak dimakan burung dan hama yang lain. Berjam-jam petani itu dengan tekun menjaga lahan persawahan itu dengan suatu harapan agar hasil panennya berhasil dan limpah. Seorang olahragawan tekun berlatih bertahun-tahun untuk mempersiapkan diri mengikuti dan menang dalam pertandingan yang diadakan oleh federasi olahraga di bidangnya masing-masing. Demikian kita yang mencintai kesetiaan berarti tekun menjalani pelatihan, perawatan dan penjagaan atas mandat yang Tuhan percayakan kepada kita masing-masing. Ketekunan merupakan salah buah dari kesetiaan bagi orang-orang beriman. Kita mencintai kesetiaan berarti ada hati untuk berkorban secara total terhadap apa pun yang sedang dihadapinya. Kita tidak mudah mundur atau putus asa ketika persoalan hidup merongrong. Kita tidak akan pernah mengeluh atau menyesali segala keputusan yang telah diungkapkan berkaitan dengan sikap menaati kehendak Allah. Orang-orang yang mencintai kesetiaan akan berupaya mencari solusi dan membuat resolusi baru untuk mencapai keberhasilan yang disediakan Allah. Mereka tidak mudah menyerah menghadapi kesulitan, tetapi mereka akan menantang kesusahan zaman ini. Karena mereka tahu bahwa Allah yang disembah dan dipuja itu adalah Allah yang setia. Besar kasih setia Tuhan mengatasi segala langit dan selalu baru setiap pagi. Marilah kita bangun dan tumbuh-buahkan cinta kesetiaan melalui cara hidup yang berkenan kepada Allah.
Hidup rendah hati di hadapan Allah merupakan kekuatan iman yang utama dalam berhubungan dengan sesama. Orang sombong dan angkuh dibenci Allah. Demikian juga orang yang minder dan tidak menghargai Tuhan tidak akan disukai-Nya. Kita sulit rendah hati kalau kita sukses dan berhasil dalam segala hal. Kita pun sulit rendah hati kalau kita selalu gagal dan terus gagal dalam segala usaha apa pun. Kita memerlukan cambukan dari Tuhan agar kita tidak angkuh dan juga tidak minder. Kita memerlukan hajaran dari Allah agar kita tidak melupakan kebaikan-kebaikan-Nya dan anugerah Allah yang melimpah itu. Kita perlu duri dalam daging supaya kita selalu bersandar dan bergantung sepenuhnya kepada kedaulatan Allah. Kesuksesan yang terus menerus mematikan semangat untuk memperbaiki diri. Sebaliknya kegagalan yang terus menerus menghindari diri untuk berharap lagi kepada Allah. Kita harus merendahkan hati di hadapan Allah dengan cara menaklukkan totalitas diri dan keyakinan kepada Pencipta dengan tetap merancang dan berkarya di hadapan-Nya. Kita harus merendahkan hati di hadapan Allah karena kita sadar akan kelemahan dan keterbatasan diri kita sendiri. Orang yang merendahkan hati akan selalu mengucap syukur akan segala kebaikan-kebaikan Allah. Kita selalu mengingat kemurahan Allah dan menghitung berkat-berkat-Nya yang setiap hari disediakan-Nya bagi kita. Orang yang rendah hati tidak berlaku munafik atau berdusta atas apa yang dialaminya. Mereka akan hidup jujur dan sadar benar bahwa Allah mahatahu dan mengenal kedalaman hati kita. Kita merendahkan hati di hadapan Allah sebagai ketetapan hati bahwa kita adalah ciptaan-Nya yang diberi tanggung jawab. karena itu, kita tidak akan mau meremehkan atau menghina sesama gambar rupa Allah. Kita menghargai ciptaan Allah itu seperti kita menghargai Allah itu sendiri. Kita pun tidak mau lagi meninggikan diri di hadapan siapa pun agar kita tidak direndahkan; kita sudah selayaknya merendakan hati dan meninggikan Tuhan di dalam dan melalui hidup kita. Selain itu, orang yang rendah hati selalu memiliki keinginan untuk belajar sebagai murid kebenaran. Karena pengetahuan dan pengalaman yang ada padanya sangat terbatas dan masih minus. Proses belajar itu seumur hidup, semakin belajar banyak hal, kita semakin rendah hati; semakin tahu banyak pengertian, semakin hidup rendah hati. Jika ada yang memiliki pengetahuan luas dan pengalaman limpah dalam hidupnya, tetapi ia tidak mau terus belajar sebagai murid kebenaran; maka orang itu berada di depan pintu kesombongan. Orang yang rendah hati akan berjuang untuk membagi apa yang dimilikinya untuk dinikmati dan menjadi saluran berkat bagi orang lain. Kita tidak lagi bersikap egois dan mementingkan diri sendiri, tetapi kita juga mau bersahabat dengan semua orang dari berbagai lapisan. Marilah kita melatih diri untuk rendah hati di hadapan Allah setiap dengan lebih dahulu mengutamakan Kerajaan Allah di atas apa pun.
Refleksi singkat, sederhana, dan terbatas di atas mengenai apa yang baik, kiranya mendorong saya dan Saudara untuk terus mempraktikan kebaikan terhadap sesama di hadapan Allah.
Roedy Silitonga